Model SERBA BATIK Collections

Model SERBA BATIK Collections
Batik Buatan Indonsia

Jumat, 13 Agustus 2010

Batik Tulis Tasik Kehilangan Generasi Penerus

Sayaka Sasaki, perempuan asal Jepang ini, tidak mampu lagi membendung keinginannya, untuk meperlajari batik tulis tradisional khas Tasikmalaya. Begitu ada kesempatan, ia terbang dari Jepang ke Indonesia lalu ke Tasikmalaya. Selama dua minggu, ia belajar bikin batik tulis kepada perajin batik tulis H. Dudung, daerah Cipedes, Kota Tasikmalaya.
Sayaka adalah satu dari sekian banyak orang asing yang tertarik dengan seni batik tradisional Tasikmalaya. “Selain Sayaka, ada juga dari Belanda, Swiss, dan Selandia Baru yang mempelajari batik tulis khas Tasikmalaya ini,” kata Dudung, ketika ditemui di kediamannya.
Namun ironisnya, ketika orang luar ramai-ramai belajar membuat batik tulis, justru di daerah Tasikmalaya sendiri, yang tertarik ke batik tulis hampir tak ada. Terutama, dari kalangan mudanya. Situasi ini, yang membuat para perajin batik, seperti Dudung, merasa gelisah. Ia khawatir, batik khas daerah ini, punah karena tak ada tenaga pembatik. “Tenaga pembatik yang ada, atau mereka yang biasa membuat batik tulis, saat ini sebagian besar atau 90 persen usianya sudah di atas 50 tahun. Kalau mereka pergi, jelas tak ada lagi generasi yang membuat batik,” katanya.
Dudung juga baru kehilangan pembatiknya, Ny. Icih dan Enok. Mereka ini adalah pembatik yang telah lanjut usia. Tapi, penerusnya tidak ada lagi yang muncul.
Diakui juga oleh perajin batik Ecin Kuraisin, asal Sukaraja, Tasikmalaya. Mereka yang menekuni jadi pembatik, di daerahnya satu persatu pergi atau berhenti, karena sudah usia lanjut. Ia sendiri khawatir batik tulis khas Tasikmalaya, tinggal kenangan.
Di daerah Kota Tasikmalaya, sendiri sentra batik tulis yang sekarang tersisa, yaitu Kota Tasikmalaya berada di daerah Cipedes, Kec. Cipedes, lalu Ciroyom, Kelurahan Nagarasari, Kec. Cipedes. Sedangkan lainnya, di Sukaraja, masuk ke Kabupaten Tasikmalaya.
Sekarang ini, keluhan kekurangan tenaga pembatik, tidak saja terjadi di Cipedes dan Sukaraja, tapi sama juga dilontarkan oleh para pengrajin batik di daerah Ciroyom. Sudah lebih sepuluh tahun terakhir ini, jumlah pembatik tulis tradisional menyusut tajam di Ciroyom. Ada yang memang meninggal dunia, atau berhenti karena sudah tua. Sementara, dari mereka yang muda yang ditunggu-tunggu untuk menjadi tonggak penerus, tak juga datang.
“Memang seperti di tempat saya ada yang muncul dari yang muda. Tapi, jumlahnya hanya satu atau dua orang. Jumlahnya, tidak seimbang dengan yang meninggal atau berhenti,” kata H. Cacu Darsu, pengrajin batik tradisional Ciroyom.
Diakui oleh Dudung yang menjadi penerus Batik Esah, keengganan generasi muda menekuni batik, karena rumit serta harus punya rasa seni tinggi. Selain itu, mungkin karena generasi sekarang lebih suka masuk ke kantoran dengan gaji besar.
Sebenarnya ada juga pelajar yang mempelajari batik, namun jumlahnya kecil. Selain itu, begitu ke luar dari sekolah, mereka tetap saja mencari kerjaan di tempat lain.
Rendahnya generasi muda Tasik yang mau menekuni batik tulis tradisional, membuat kegundahan para pe ngrajin batik di Kota Santri Tasikmalaya. Apalagi sejalan dengan itu, jumlah mereka yang menekuni usaha batik tradisional, semakin hari terus berkurang.
Data di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kota Tasikmalaya, di masa kejayaan batik, antara tahun 60-an hingga awal 80-an, tak kurang ada 450 pengrajin batik. Dari perajin sebanyak itu, mampu menyerap ribuan tenaga kerja.
Pemasarannya, tidak hanya di daerah Tasikmalaya, tapi juga sampai ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi hingga lainnya. Jumlah batik yang dipasarkan, cukup banyak.
Seperti Batik Esah, setiap minggunya puluhan kodi (satu kodi 20 lembar) batik yang dijual. Batiknya, kebanyakan samping dan sarung. Sedangkan di Ciroyom ada ribuan perajin batik, dengan kapasitas produksi cukup besar. Perajin batik Hj. Enok Sukaesih asal Ciroyom, waktu masa kejayaannya, bisa jual batik dalam jumlah sangat besar puluhan kodi dalam seminggunya.
Namun perjalanan waktu, usaha batik tradisional satu per satu gukung tikar. Hingga sekarang ini, yang tersisa pengusaha batik tradisional di Kota Tasikmalaya, diperkirakan 34 orang. Semua itu, tentu saja berdampak pada makin berkurangnya produksi batik tradisional atau yang lebih dikenal dengan batik tulis.
Apalagi kini sudah banyak usaha batik yang produksinya, ke printing atau cap. Bagi pengusaha pada produksi batik printing dan cap tak lepas dari masalah tenaga kerja, pasar dan daya beli masyarakat. Untuk bikin 1.000 potong batik printing hanya butuh waktu satu hari dengan tenaga kerja 20 orang. Sedangkan dengan batik tulis, untuk satu potong saja, rata-rata membutuhkan waktu lebih daari seminggu.
Diakui oleh Enok Sukaesih maupun Dudung, proses membuat batik tulis memakan waktu yang agak lama. Biasanya, prosesnya diawali mulai dari menggambar, lalu gambar itu dimasukkan ke kain jenis primisira. Istilah pembataik setelah membuat gambar, lalu bikin pola, selanjutnya memberi malam pada gambar memakai canting, diwarnai menggunakan kuas, ditembok atau warna yang sudah dioles, ditutup lilin untuk mencegah terkena warna lain, lalu dicelup (memberi warna dasar), hingga pelepasan malam memakai air mendidih (rorod).
“Sedikit rumit, dengan memakan waktu paling cepat seminggu. Tapi, ada juga yang sampai tiga bulan. Semakin tinggi tingkat kerumitannya, maka semakin mahal harga batiknya,” ujar Enok.
Harga batik tulis ini, dijual ke pasar rata-rata mulai dari Rp 200 ribu, hingga Rp 1,5 jt.
Sebagian besar, di daerah ini pembatik yang menjual sendiri atau hanya menunggu pembeli datang. Paling banter pasaran akan bagus saat musim pernikahan. Pada saat itu mereka biasanya mengerjakan pesanan batik, baik untuk digunakan pengantin maupun keluarga pengantin, para penjemput tamu sampai panitia.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Tasikmalaya, Tantang Rustandi didampingi Kepala Bidang Perdagangan Gungun, mengemukakan, ada beberapa hal yang menyebabkan usaha batik mengalami kemorosotan. Pertama, karena perkembangan mode dan industri tekstil yang pesat, yang akhirnya banyak menyisihkan kain batik. Seperti, bisa dilihat sudah jarang orang menggunakan samping batik dalam kegiatan sehari-hari.
Faktor lain, karena semakin berkurangnya pembatik itu sendiri. Lalu, kenaikan harga produksi atau bahan baku batik, sedangkan pemasaran yang semakin sulit.
Lalu, masalah lain yaitu kurangnya inovasi dari perajin sendiri. Sehingga, terjadi monoton yang akhirnya, pasar mengalami kejenuhan dan promosi yang kurang.
Kini, dinas tengah berusaha untuk membangkitkan kembali usaha batik. Di antaranya, lewat program proyek pendanaan kompetiti (PPK) yang diterima Kota Tasikmalaya, dari Jabar.
Dari PPK ini, dikembangkan pelatihan masala desain produk, serta pengembangan motif batik. Lalu, pelatihan pemasaran dan cara ekspor. Dengan pelatihan ini, diharapkan inovasi dari perajin muncul, serta bisa mengikuti perkembangan atau selera pasar.
Untuk promosi, kini Pemkot Tasikmalaya, membuka rumah Tasik, yang digunakan untuk pemasaran bersama produk kerajinan Kota Tasikmalaya. Di dalamnya, yaitu sebagai berisi batik khas Tasikmalaya. Sehingga, dengan adanya Imah Tasik, yang akan mencari batik khas Tasikmalaya, tidak sulit mencari. “Lokasinya di Kawalu, Tasikmalaya. Nanti dilengkapi dengan jaringan internet untuk promosinya,” tambah Gungun.
Pengusaha batik tradisional Tasikmalaya, tidak ingin pamor batiknya merosot. Dalam hal ini, mereka seperti kata Dudung atau Cacu, pemerintah bisa membantu memasarkan secara langsung. Caranya, sebaiknya pemkot buat seragam pegawainya dari batik khas daerah ini. Cara itu, bukan hanya untuk menyerap pemasaran batik, tapi ikut mempromosikan.
Begitu juga seragam sekolah yang pakai batik, selama ini sering gunakan batik cirebonan atau pekalongan. Kini, minta untuk gunakan batik asli. Mereka siap untuk membuatnya.
Tentu semua tidak ingin batik tasikan yang bercirikan warna dasar merah, kuning, ungu, biru, hijau dan soga, hilang. Untuk itu,butuh komitmen bersama agar seni daerah ini, bisa hidup serta tumbuh hingga menjadi fondasi ekonomi masyarakatnya, sebagaimana dalam tiga dekade ke belakang.
Sumber : (undang sudrajat/”PR”)*** Pikiran Rakyat

Rabu, 04 Agustus 2010

Corak Batik Selera Kaum Muda

Terjun dalam usaha batik tulis dengan konsumen yang relatif terbatas mengharuskan “pemain” baru lebih jeli. Selain memiliki kekhasan dalam produk, sehingga dilirik konsumen, mereka juga mesti pandai-pandai membidik pangsa pasar yang terbatas itu.
Persyaratan seperti itulah yang dijadikan pedoman Putu Sulistiani Prabowo (48) ketika merintis usaha batik tulis di Surabaya. Sejak awal, corak dan warna batik buatannya tak sesuai “pakem” batik. Dia mengarahkan produknya sesuai selera kaum muda.
Meski diakuinya, jiwa orang muda yang cenderung menginginkan sesuatu yang baru menuntut kreativitas terus-menerus. Orang muda akan dengan cepat meninggalkan corak dan warna batik yang dirasakan stagnan.
“Supaya kaum muda tertarik memakai batik, saya harus menampilkan motif dan warna yang baru. Selain supaya berbeda dengan corak dan warna batik pada umumnya, juga agar tidak terkesan monoton dan kuno,” kata Sulis, nama panggilan perempuan yang membuka Galeri Batik Dewi Saraswati di Jalan Jemursari Utara, Surabaya, itu.
Dia ingin anak muda mau dan bangga memakai batik. Apalagi, menurut Sulis, beberapa kali dia memperhatikan anak muda di negeri tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, ternyata suka memakai batik. Padahal, dari sisi kualitas, termasuk corak dan warna, batik Indonesia justru lebih kaya. Sayang kalau kalangan muda tak tertarik memakainya.
“Alasan mereka sebenarnya sepele, pakai batik dianggap kurang mengikuti mode, tidak gaul. Padahal, batik cocok untuk semua kalangan dan usia,” kata Sulis yang konsumennya didominasi perempuan muda.
Keprihatinan yang dirasakannya itu mendorong Sulis menggeluti usaha batik tulis. Dia berusaha menciptakan motif dan warna batik yang bisa menarik kaum muda, seperti corak bunga kembang sepatu.
Dia juga memberi keleluasaan kepada konsumen untuk memilih corak sendiri, antara lain dengan menyediakan buku-buku tentang corak dan warna.
“Saya tidak takut membuat motif batik apa saja, demi agar batik tidak ditinggalkan konsumen,” cetusnya.
Jenuh menjadi karyawan
Terjun dalam usaha batik tulis dilakukan Sulis setelah ia bekerja selama 16 tahun pada perusahaan kosmetik. Dia berhenti menjadi karyawan karena merasa jenuh. Sulis lalu mengundurkan diri, dan melihat batik tulis sebagai peluang usaha.
Ibu dua anak ini lalu menimba ilmu membatik dari beberapa pembatik di Surabaya dan Yogyakarta. Kegemaran melukis sejak kecil membuatnya tak menemui kesulitan berarti dalam membatik. Dia juga mengikuti pelatihan pewarnaan kain batik dengan pewarna zat kimia maupun bahan organik.
Bahan alami yang dipakai untuk mewarnai batik tulis karyanya antara lain secang (warna merah dan oranye), jalawe menghasilkan warna kuning, indigo untuk warna biru, daun jati untuk warna merah kecoklatan, serta kulit kayu tegeran dan kayu mahoni untuk warna sogan—warna khas batik klasik yang umumnya cenderung gelap.
Dia juga bereksperimen untuk mencari warna alami baru. Berbagai jenis kulit pohon, daun, akar, biji, dan buah terus diburunya untuk mendapatkan warna kain batik yang tak monoton. Pasalnya, warna merupakan faktor utama pada kain batik. Perhatian orang kepada batik makin besar bila pewarnaan kain sempurna. Warna juga dapat memberi kesan anggun pada pemakai batik tulis.
“Saya membuat batik eksklusif yang coraknya bisa klasik tetapi diberi sentuhan modern, terutama pada warnanya. Ini agar kalangan muda tertarik pakai kain batik,” ujar Sulis yang selalu memadukan warna lembut dengan warna yang tengah tren sebagai upaya agar konsumen mudah mendapatkan padanan untuk kebaya maupun blusnya. Misalnya, memadukan kain batik dengan kebaya encim berlengan tiga perempat, blus bordir, bahkan blazer.
“Jadi, saya enggak hanya membuat kain batik, sarung, dan selendang, tetapi juga paduan untuk atasannya,” kata Sulis, alumnus Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya, yang tengah menggarap corak batik khas suroboyo berupa corak daun semanggi. Sebelumnya, dia membuat corak sapujagat. Motif tersebut menuntut kerja ekstra karena dalam satu kain terdapat delapan motif, dan proses pewarnaannya pun lebih rumit.
Untuk bahan baku batiknya, Sulis memilih antara lain sutra alat tenun bukan mesin, sutra bermotif, katun, serat kayu, dan serat pelepah pisang.
Untuk menghasilkan kain batik dengan corak yang selalu berubah-ubah, pembatik harus bekerja ekstra. Apalagi motif baru karya Sulis cenderung menuntut penggarapan yang bisa menyelaraskan berbagai motif seperti beras kutah, teripang, serta cecek.
“Ketiga corak ini membutuhkan proses pewarnaan yang berulang kali karena memiliki beberapa warna dalam satu kain,” ujar Sulis yang senang berburu barang-barang antik di Pekalongan, Semarang, dan Solo ini.
Untuk memudahkan konsumen, Sulis juga menyediakan produk paket. Dalam paket kain batik tulisnya sudah dipadankan sekaligus kain, selendang, sampai sandal dan dompet. Meski harga produk paket relatif mahal, namun termasuk digemari konsumen. Harga paket produk Sulis sekitar Rp 1,3 juta. Sedangkan harga kain batik sekitar Rp 450.000, untuk setelan sarung dan selendang dari Rp 650.000 sampai Rp 2 juta.
“Harga batik tulis memang mahal, karena pengerjaannya pun lama. Untuk satu lembar kain batik minimal tiga minggu. Semakin rumit motif dan jumlah warna yang dipakai, akan makin lama pembuatannya,” ujar Sulis yang dibantu 10 pekerja. Sementara untuk pembuatan sandal, dia punya mitra di Sidoarjo dan Surabaya.
Sumber : (Agnes Swetta Pandia) Harian Kompas

Selamat Datang di Koleksi Zidane Batik, Batik Buatan Indonesia Asli

Pada  Network Outlet  ini Anda bisa melihat, memilih, dan berbelanja koleksi kain/ baju batik kami. Semua koleksi  produk kain/ baju batik kami  buatan pengrajin Batik Indonesia dari beberapa daerah yang terkenal dengan produk batiknya, seperti Pekalongan, Solo, Jogja, Garut, Manonjaya, Jambi, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. 100% Hanya Batik Tulis dan Cap Asli Indonesia. Kami menyediakan koleksi pilihan terbaik dengan jumlah terbatas dan telah melayani ratusan pembeli pada beberapa provinsi di  Indonesia.